NOVEL
By Ahmad Tohari
Adalah matera; susunan kata-kata yang menyalurkan sugesti dan kekuatan alam melalui jalur nonfisika dan bebas dari hukum-hukum tentang energi maupun mekanika yang biasa. Kekuatan itu tak terelakkan kecuali oleh kekuatan lain yang segaris namun berlawanan arah. Dan, mantera yang dipasang oleh Nyai Kertareja secara tak sengaja telah mendapat tandingannya. Yaitu ketika suatu malam Srintil ingin kencing. Karena malas keluar kamar Srintil memilih salah satu sudut kamar tidurnya sebagai tempat melepas hajat. Di sana ada bagian lantai yang gembur bekas cungkilan baru. Adalah layak bila Srintil menganggap bagian tanah tersebut bisa dikencingi karena cepat meresap air, tak peduli di tempat itulah Nyai Kartareja menanam telur wukan yang telah dimanterainya. Tanpa disadarinya Srintil melumpuhkan mantera yang ditujukan kepadanya.
Sudah dua kali Srintil menolak naik pentas. Perbuatan yang sangat mengecewakan suami-istri Kartareja dan terutama orang yang mengundangnya, oleh Srintil hanya diberi dalih enteng: malas!
Tetapi Srintil tidak malas melakukan perbuatan yang lucu di mata orang-orang Dukuh Paruk; bercengkerama dengan anak-anak gembala yang kebanyakan masih bertelanjang badan. Tanpa canggung Srintil ikut berlari-lari menghalau kambing. Atau duduk di bawah pohon dan membantu anak-anak gembala membuat layang-layang dari daun gadung. Srintil bisa menyatu dengan kegembiraan anak-anak yang menjadi lebih ceria karena mendapat teman bermain istimewa. Mula-mula anak-anak gembala itu merasa rikuh namun akhirnya mereka cepat akrab.
"Dulu saya juga seperti kalian, senang bermain-main di tegalan sambil menggembala kambing," kata Srintil. Tangannya sibuk membuat mainan baling-balik dari daun kelapa.
"Kakak juga pintar menangkap capung dengan getah nangka?" tanya seorang anak.
"Ah, itu gampang. Kalau mau dengan getah nangka malah bisa menangkap burung kedasih," jawab Srintil dengan gaya seorang ibu yang bijak.
"Pernah seperti ini?" kata seorang anak lainnya yang membawa tahi sapi kering yang membara sebagian. Di atas bara itu ada seekor jarigkrik yang sedang dibakar. Srintil tersenyum.
"Oh, tentu saja. Aduh, gurih nian jangkrik bakar itu, bukan?"
"Kakak mau? Silakan ambil."
"Boleh?"
"Ambillah!"
Anak-anak memperhatikan dengan minat yang penuh ketika Srintil mengunyah jangkrik yang dibakar dalam bara tahi sapi kering itu. Semacam lambang keakraban, dan anak-anak gembala itu bersorak-sorai. Seorang yang paling besar di antara mereka maju mendekati Srintil. Di tangannya ada bambu seruas.
"Benar juga, Kakak rupanya dulu suka bermain-main seperti kami. Tetapi apakah Kakak bisa menebak isi tabung ini?"
"Gangsir," jawab Srintil setelah mencoba berpikir.
"Bukan."
"Buah salam."
"Bukan."
"Kepik hijau."
"Bukan."
"Nah, aku menyerah."
"Betul?"
"Ya."
Anak gembala itu membalikkan tabung hingga isinya jatuh ke tanah. Srintil menjerit dan melompat, tepat seperti gadis kecil yang ketakutan. Seekor ular angon merayap bebas setelah sekian lama terkurung dalam tabung bambu. Sekali lagi terdengar sorak-sorai anak-anak gembala. Srintil mengejar si Nakal, mencubit pahanya. Anak itu meringis, namun kelihatannya dia tidak menyesal bila Srintil terus mencubitnya.
Suatu ketika Srintil merasa benar-benar ingin menyendiri. Jenuh mendekam dalam kamarnya ronggeng itu keluar menuju tepian dukuh. Di sana, di bawah pohon nangka Srintil dahulu menghabiskan sebagian besar waktu bermainnya. Dipungutnya selembar daun yang jatuh lalu diremasnya. Aneh, Srintil merasa ada sesuatu yang terlampiaskan ketika daun yang tak bersalah itu remuk dalam genggamannya.
Tidak jauh dari tempat itu dua ekor anak kambing melompat-lompat dalam gerakan yang amat lucu. Kemudian mereka berlomba mencari selangkangan induknya buat menetek. Ulah kedua kambing itu kelihatan kasar. Tetapi induk mereka membiarkan tetek yang menggembung penuh daya hidup itu diperah dan disodok-sodok. Srintil memperhatikan perilaku induk dan anak itu tanpa kedipan mata. Srintil tersenyum. Kali ini senyumnya disertai oleh kontraksi kelenjar teteknya sendiri serta rangsangan aneh pada urat-urat sekitar rahim. Tiba-tiba hasrat hendak memeluk seorang bayi mendesaknya demikian kuat. Hampir pada saat yang sama rasa cemas karena mungkin Nyai Kartareja dengan caranya sendiri telah mematikan indung telur dalam perut Srintil membuat ronggeng itu sesak napas. Perang yang seru terjadi dalam dadanya yang ditandai dengan sepasang garis basah yang turun dari mata ke pipi Srintil. Ada sebuah pertanyaan yang buat kali pertama muncul di hatinya; mengapa diriku seorang ronggeng? Pertanyaan itu datang dari perkiraan Srintil; kalau dia bukan seorang ronggeng Rasus takkan meninggalkannya dengan cara begitu saja.
Khayalan Srintil terkacau oleh deru sepeda motor yang memasuki Dukuh Paruk. Di kecamatan Dawuan dan sekitarnya hanya ada dua kendaraan seperti itu. Yang satu milik siten wedana, lainnya milik Marsusi, seorang kepala perkebunan karet Wanakeling. Siapa pun di antara keduanya yang bersusah payah datang ke Dukuh Paruk, rasanya hanya untuk satu tujuan. Srintil tertegun sejenak lalu bangkit dan berjalan mengendap-endap menjauhi rumahnya. Pelarian kecil itu berakhir di puncak bukit pekuburan Dukuh Paruk yang menerimanya dalam kesunyian.
Ada celeret melayang dari satu pohon ke pohon tanpa suara. Ada kucica betina sibuk membawa kapuk bunga gelagah untuk bantalan sarangnya. Di dekat sebuah batu nisan seekor tabuan sedang menarik-narik ulat besar yang sudah dilumpuhkannya. Dan Srintil terkejut ketika terdengar suara tokek dari bubungan cungkup makam Ki Secamenggala.
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda