Minggu, 23 November 2008

Burnout pada Guru perlu diwaspadai

BURNOUT pada Guru?

Perlu diwaspadai

.

Anda merasakan pekerjaan terasa membosankan,cepat letih, malas menghadapi aktivitas sehari-hari, apatis, sinis terhadap segala kebijakan yang ada di lingkungan kerja, sering berprasangka negatif, frustasi, merasa tak terterima di lingkungan kerja, merasa gagal, self esteem yang rendah? Padahal, mulanya Anda seorang pribadi yang energik, penuh ide dan kreatif, pekerja keras, optimis? Waspadai, anda terkena syndrom burnout.

Burnout merupakan keadaan internal yang menyangkut perasaan dan motif yang merupakan sebuah pengalaman negatif individu. Aspek negatif ini termasuk tingkat kelelahan emosional dengan kehilangan perasaan dan perhatian, kehilangan kepercayaan, minat, dan juga semangat.

Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang ketika mengalami sindrom burnout tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned – out). Suatu gedung yang semula megah dengan berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya. Demikian pula yang dialami oleh seseorang yang terkena burnout, dari luar tampak utuh, namun dalamnya kosong dan penuh masalah. Selanjutnya dikatakan bahwa burnout adalah keadaan dimana sseorang mengalami kelelahan atau frustasi karena merasa apa yang diharapkan tidak tercapai. Gejala awal yang ditunjukkan adalah kelelahan fisik dan emosional, tidak sabaran, perasaan negatif, dan merasa terbuang dari lingkungan kerjanya.

Sejak ditemukan pada tahun 1970, burnout telah diakui sebagai ancaman yang serius bagi individu, terutama pada kalangan human service profesional, dan ternyata burnout banyak terjadi di kalangan guru, terapis, pekerja sosial, polisi, dan perawat rumah sakit.

Bahkan, menurut Kleiber & Ensman, bibliografi terbaru tentang burnout yang memuat 2496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan 43% burnout dialami pekerja kesehatan dan sosial, 32% dialami guru (pendidik), 9% dialami pekerja administrasi dan manajemen, 4% dialami pekerja di bidang hukum dan kepolisian, sedangkan 2% dialami pekerja lainnya.

Konsekuensi yang penting dari burnout adalah berkurangnya performansi kerja. Burnout akan membuat individu menarik diri dari pekerjaannya. Akibatnya, individu akan cenderung memiliki tingkat absen dan turnover yang tinggi.

Bagaimana kalau kondisi seperti ini dialami banyak guru? Guru yang notabene adalah pekerja profesional yang bekerja pada pemberian pelayanan kepada individu lain (human service) dan juga berhubungan erat dengan masyarakat mengalami sindrom burnout. Tentu akan berdampak dan menimbulkan permasalahan yang tidak bisa dianggap sepele.

Tak dapat dipungkiri, permasalah yang muncul akhir-akhir ini banyak menyorot guru. Guru sedang menjadi isyu santer terkait dengan kebijakan pemerintah khususnya di bidang pendidikan. Dari pergantian kurikulum yang terlampau dinamis dalam tempo yang singkat, pro kontra Ujian Akhir Nasional, pro kontra pendidikan gratis, rendahnya mutu pendidikan baik dari out put maupun para pemangku kebijakan, sertifikasi yang juga banyak menuai banyak permasalahan dan menyita perhatian, kenaikan anggaran pendidikan yang masih awang-awang, semua itu memberi andil pada burnout yang terjadi di kalangan guru.

Masalah lain yang umumnya dihadapi para guru terkait dengan perubahan kurikulum serta kebijakan sekolah / instansi tempat mereka bekerja, alih-alih peningkatan mutu SDM, banyak guru yang ditugaskan oleh instansi atau sekolah tempat mereka mengajar untuk mengikuti berbagai pelatihan, diklat, workshop,seminar atau terangkum dalam istilah penataran keluar kota, atau keluar daerah, bahkan juga keluar negeri. Di tempat baru tersebut seorang guru harus dapat menjaga sikap dan tingkah laku, dapat beradaptasi dengan suasana dan orang-orang baru. Selain itu, guru juga harus bisa membawa nama baik sekolah atau instansi yang menugasi.

Terlepas dari perannya sebagai seorang guru, mereka juga manusia biasa yang dalam kodratnya tetap sebagai makhluk individu dan sosial. Sebagai makhluk individu guru juga bisa terkena stres. Dan stres adalah bentuk tanggapan individu baik secara fisik maupun psikis terhadap suatu perubahan di lingkungan yang dirasa mengganggu dan dapat mengakibatkan dirinya terancam. Efeknya motivasi kerja menurun, sinis, timbul sikap negatif, frustasi, timbul perasan ditolak dsb.

Burnout sebenarnya banyak dialami oleh individu yang termasuk pekerja keras, optimistis, penuh ide, dan energik. Sangat disayangkan apabila banyak pekerja profesional yang akhirnya mengalami sindrom burnout. Karena kondisi seperti ini apabila dibiarkan berlarut-larut akan berimbas pada berbagai hal.

Berdasarkan hasil penelitian, dukungan sosial ternyata berkorelasi negatif terhadap burnout. Oleh karena itu, peran orang lain, lingkungan sekitar sangat diperlukan. Dukungan sosial adalah tindakan menolong yang diperoleh melalui hubungan interpersonal. Dukungan sosial digambarkan sebagai pengalaman yang membawa keyakinan bahwa mereka diperhatikan, dicintai, dihargai, yang diperoleh dari kelompok maupun pihak lain. Kembali ke fitrah manusia yang memang memiliki dua kebutuhan dasar yaitu kebersamaan, rasa memiliki dan dimiliki serta memiliki dukungan dari lingkungannya.

Dari mana dukungan sosial diperoleh?

Yang pertama, dari atasan, atasan yang bersikap ramah kepada bawahannya akan membuat bawahan merasa dirinya dihargai dan diperhatikan. Seorang atasan yang suportif, mudah ditemui, penuh perhatian pada kebutuhan-kebutuhan bawahan baik secara individu atau kelompok memberi kontribusi yang luar biasa bagi penanganan burnout.

Yang kedua dari rekan kerja / teman sejawat; hubungan individu dengan rekan kerja hendaklah berjalan baik. Dalam pekerjaan diutamakan kebersamaan yang akan berimbas pada peningkatan nilai kelompok yang sama artinya dengan efektivitas individu. Namun jika terdapat persaingan antarteman sejawat yang tidak sehat, senang mencari muka, ngolor, akan membuat suasana kerja tidak kondusif.

Yang ketiga dari keluarga; keluarga merupakan kelompok sosial pertama bagi individu dalam berinteraksi. Pengalaman dalam keluarga turut menentukan cara / tingkah laku individu terhadap orang lain dalam pergaulan dengan lingkungan sosial di luar keluarga. Apabila interaksi individu dengan keluarga tidak wajar, kemungkinan besar saat individu tersebut berinteraksi dengan orang lain juga tidak wajar. Keluarga yang diharapkan adalah keluarga yang selalu mendukung dan memberi saran atas hasil kerja dan kinerja yang dapat meningkatkan motivasi kerjanya. Anggota keluarga hendaknya memberi dukungan emosional maupun material terhadap individu bersangkutan agar dapat membantu mengurangi stressor yang diterima.

Dapat digarisbawahi, semakin banyak dukungan sosial, semakin rendah burnout yang dialami para guru khususnya dan para pekerja profesional pada umumnya. Sebaliknya, semakin sedikit dukungan sosial, makin tinggi pula burnoutnya.

Tak dapat dimungkiri, manusia memang tak dapat lepas dari lingkungannya. Ia adalah makhluk dualisme. Walaupun ia makhluk individu, ia tak dapat berlaku individualis, egois, dan merasa ‘paling’, karena ia juga makhluk sosial yang membutuhkan dukungan, kehadiran, perhatian, dan cinta dari orang lain.

Marilah kita banyak berlatih untuk juga mencintai apa yang kita kerjakan, tidak hanya mengerjakan apa yang kita cintai. Semoga kita terhindar dari burnout.


partinem, ms. gr basindo. bu lurah.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda